Operasi Mata Najwa Shihab

Operasi Mata Najwa Shihab @tuanyuda

@tuanyuda - Bosen cuma ngeliat Najwa Shihab nyecer narasumbernya di talkshow Mata Najwa, saya putuskan balik wawancara dia. Akankah mata Najwa itu bicara banyak halah. Mari kita operasi Mata Najwa.



Bicara personal, Najwa mengungkapkan kalau dirinya tak seperti imej ceplas-ceplos yang orang kebanyakan nilai. Ia mengaku kalau semasa kecil dirinya merupakan pribadi pemalu yang cenderung tertutup. “Dan sampai sekarang saya merasa masih pemalu. Pada dasarnya saya introvert, saya tertutup, kalau tidak dengan orang yang betul-betul kenal saya baru akan terbuka,”  ungkapnya. 

Saking pemalunya, sang Ibu ketika Najwa kecil sering mendorongnya untuk ikut serta dalam berbagai kompetisi perlombaan guna membangun kepercayaan dirinya. Adapun momen yang dianggap Najwa benar-benar membentuk kepribadiannya terjadi pada umur 16 tahun tatkala dirinya ikut serta dalam program Exchange Student Scholarship, AFS (American Field Service) yang membuat dirinya harus belajar di Amerika Serikat selama setahun seorang diri.

“Kehidupan SMA disana sangat kompetitif jadi harus benar-benar menunjukan siapa diri kita. Selama disana saya berusaha keras cari teman itu semua klub yang ada dari panjat tebing, catur, buku, drama, nyanyi, saya melakukan apapun untuk diterima. Itu yang kemudian mengubah membuat saya jauh lebih PeDe. Belajar public speaking disana. Ada banyak pengalaman saya dipaksa untuk menyesuaikan diri pada situasi, saya dipaksa belajar, saya merasa banyak kepribadian saya dibentuk disitu,” kenangnya bangga.   

Najwa belakangan ini melihat adanya ‘kesalahan’ beberapa orang dalam memaknai kesuksesan. Menjamurnya kontes-kontes popularitas di TV, saya merasa orang sudah agak rancu terhadap definisi sukses. Saya melihat ada kecenderungan orang mengasosiasikan popularitas dengan kesuksesan, pada itu hal yang sangat berbeda. Sukses itu bukan populer. Saya ingat anak saya pas kelas 3 SD, ditanya mau jadi apa kalau sudah besar, dan jawabannya mau ngetop seperti mami. Dan saya agak shock karena saya tidak mau dia punya persepsi ngetop equal dengan sukses, padahal itu sesuatu yang beda.”

Baginya definisi kesuksesan yang sesungguhnya adalah dengan bermanfaat untuk orang dan orang merasa dengan tindakannya bisa merasa mendapatkan sesuatu. ”Kunci sekarang gimana membuat diri kita tidak bisa tergantikan. Dan itu yang akan membuat kamu dikejar dan  dicari kemanapun apa kemudian lewat ide-ide orisinal, apa kemudian lewat kemampuan yang tidak dimiliki orang lain. Karena kalau kamu bisa menjadi unik atau kamu bisa menjadi tak tergantikan perusahaan akan berusaha merebut atau mencari. Bikin kita jadi unik. Kita kerjakan bukan hanya untuk diri kita tapi untuk negara kita.”  

“Cita-cita serius yang kemudian tidak jadi kemudian jadi wartawan ya jadi hakim. Skrispsi saya tentang penjara, saya dulu serius ingin menjadi hakim anak. Hukum itu rentan dan bisa menjadi sangat rentan terutama untuk anak-anak tidak berdosa. Saya ada keterikatan khusus untuk kasus-kasus anak. Kalau tidak jadi hakim perjuangan lewat media. Saya merasa [jurnalistik] ini bisa jadi alat yang efektif untuk mengubah opini, alat efektif untuk mendorong perubahan, untuk jewer kuping pemerintah. Dan sudah terbukti berkali-kali itu efektif.” 

Terkait pandangannya terhadap dunia jurnalistik di Indonesia saat ini dan kedepan, Najwa melihat masih banyak tantangan yang dihadapi. Tantangan terbesarnya adalah memisahkan idealisme dengan kepentingan modal. Tapi bahwa kemudian kepentingan modal mempengaruhi pemberitaan, lanjutnya, adalah sesuatu yang dialami bukan hanya di Indonesia tapi disemua negara yang demokrasinya berkembang.

Gimana persaingan kepentingan modal dan idealisme, gimana persaingan antara tuntutan marketing rating dan pertahankan kualitas. Ini kita berdiri diantara dua pendulum besar itu. Jadi saya merasa pertentangan diluar negeri itu pertentangannya tidak sekeras disini, tantangannya tidak sebesar itu. Jadi saya justru merasa di Indonesia sekarang dimana pers lagi betul-betul bisa jadi kekuatan besar. Tantangannya ada disini sekarang.”

 


Kesuksesan Mata Najwa tak pelak membuat si anchor bak selebriti. Tapi menanggapi itu Najwa berujar, "Saya selalu risih ketika seorang wartawan disamakan dengan selebriti itu sudah hilang nilai wartawannya. Begitu ia merasa selebriti, itu ia menjadi bagian dari berita bukan orang yang menyampaikan berita dan itu berbahaya sekali ketika kemudian dia merasa dirinya lebih penting daripada berita yang disampaikan. Bahwa kemudian orang mengenali itu secara manusiawi senanglah. Tapi saya selalu merasa sangat risih jika disamakan dengan selebriti.”

Kecintaannya pada dunia jurnalistik tak melulu menjauhkannya akan kebimbangan pada profesi yang dijalani. Najwa mengaku beberapa kali sempat terpikir berhenti dari profesi yang sudah membesarkan namanya. Penyebabnya lantaran ia kadang merasa terlalu sibuk dengan rutinitasnya sebagai reporter yang mengharuskannya tak bisa sepenuhnya bersama keluarga dan si buah hati.

“Memutuskan untuk sekolah lagi, cuti satu tahun dari Metrotv itu salah satu keputusan terbaik yang saya rasa saya pernah ambil. Karena saya berangkat tahun 2008, hectic sekali dan saya merasa juga terlalu banyak tercurah pada profesi ini. Dan saya harus memilih dan menimang, oke deh sekolah lagi. Saya dan suami kebetulan dapat beasiswa, saya ajak anak saya setahun diluar negeri itu betul-betul refreshing buat saya karena harus jadi ibu rumah tangga dan sekolah. Ada poin-poin manusia untuk berhenti sejenak dijalan untuk melihat perspektif yang lebih luas.”

Cara Najwa menikmati dunia juga sederhana. “Saya anak rumahan kalau ada waktu luang saya selonjornya di sofa nonton DVD secara maraton, makan biskuit pakai daster, saya simple banget. Kebahagiaan saya agak menyedihkan. Kaya gitu doang saya sudah happy, tapi memang simple,” tutupnya sambil tertawa lepas.Ya seperti itulah mata dia yang bisa saya lihat sementara ini. (@tuanyuda)